Posted by : .
Sunday, February 9, 2014
Zaman Batu Tengah
Setelah pleistosen berganti dengan holosen, kebudayaan
paleolithikum tidak begitu saja lenyap melainkan mengalami perkembangan
selanjutnya. Di Indonesia, kebudayaan paleolithikum itu mendapat pengaruh baru
dengan mengalirnya arus kebudayaan baru dari daratan Asia ygna membawa coraknya
sendiri. Kebudayaan baru yang timbul itu dinamakan Mesolithikum. Kebudayaan mesolithikum ini banyak ditemukan
bekas-bekasnya di Sumatra, Jawa , Kalimantan, Sulawesi dan di Flores. Dari
peninggalan-peninggalan tersebut dapat diketahui bahwa jaman itu manusia masih
hidup dari berburu dan menangkap ikan (Food-Gathering). Akan tetapi sebagian
sudah mempunyai tempat tinggal tetap, sehingga bisa dimungkinkan sudah bercocok
tanam walau masih sangat sederhana dan secara kecil-kecilan. Bekas-bekas tempat
tinggal mereka ditemukan di pinggir pantai (Kjokkenmoddinger) dan di dalam
gua-gua (Abris Sous Roche). Disitulah pula banyak didapatkan bekas-bekas
kebudayaannya.
Penelitian di bukit kerang menghasilkan banyak penemuan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Paleolithikum). Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan pebble / kapak Sumatra. Bentuk pebble dapat dikatakan sudah cukup sempurna dan buatannya agak halus. Hal ini membuktikan bahwa alat-alat pada zaman mesolithikum merupakan pengembangan dari alat-alat zaman paleolithikum, dimana cara pembuatannya lebih baik dan lebih halus dari zaman paleolithikum.
A. HASIL KEBUDAYAAN MESOLITHIKUM
1. Kebudayaan Pebble (Pebble Culture)
Penelitian di bukit kerang menghasilkan banyak penemuan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Paleolithikum). Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan pebble / kapak Sumatra. Bentuk pebble dapat dikatakan sudah cukup sempurna dan buatannya agak halus. Hal ini membuktikan bahwa alat-alat pada zaman mesolithikum merupakan pengembangan dari alat-alat zaman paleolithikum, dimana cara pembuatannya lebih baik dan lebih halus dari zaman paleolithikum.
A. HASIL KEBUDAYAAN MESOLITHIKUM
1. Kebudayaan Pebble (Pebble Culture)
a. Kjokkenmoddinger (Sampah Dapur)
Kjokkenmoddinger
adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan
modding artinya sampah jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah
dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit
kerang dan siput yang mencapai ketinggian ± 7 meter dan sudah membatu atau
menjadi fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan disepanjang pantai timur Sumatera
yakni antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan
bahwa manusia purba yang hidup pada zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr.
P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan
hasilnya banyak menemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper
(kapak genggam Palaeolithikum).
b. Pebble (kapak genggam Sumatera =
Sumateralith)
Tahun
1925, Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang
tersebut dan hasilnya menemukan kapak genggam. Kapak genggam yang ditemukan di
dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble/kapak genggam Sumatra
(Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu dipulau Sumatra.
Bahan-bahan untuk membuat kapak tersebut berasal batu kali yang dipecah-pecah.
c. Hachecourt (kapak pendek)
Selain pebble yang diketemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan sejenis kapak tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan hachecourt/kapak pendek.
Selain pebble yang diketemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan sejenis kapak tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan hachecourt/kapak pendek.
d. Pipisan
Selain
kapak-kapak yang ditemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan pipisan
(batu-batu penggiling beserta landasannya). Batu pipisan selain dipergunakan
untuk menggiling makanan juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah. Bahan
cat merah berasal dari tanah merah. Cat merah diperkirakan digunakan untuk
keperluan religius dan untuk ilmu sihir
2.
Kebudayaan Tulang dari Sampung (Sampung Bone Culture)
Berdasarkan
alat-alat kehidupan yang ditemukan di goa lawa di Sampung (daerah Ponorogo -
Madiun Jawa Timur) tahun 1928 - 1931, ditemukan alat-alat dari batu seperti
ujung panah dan flakes, kapak yang sudah diasah, alat dari tulang, tanduk rusa,
dan juga alat-alat dari perunggu dan besi. Oleh para arkeolog bagian terbesar
dari alat-alat yang ditemukan itu adalah tulang, sehingga disebut sebagai
Sampung Bone Culture.
3. Kebudayaan Flakes (Flakes Culture)
3. Kebudayaan Flakes (Flakes Culture)
·
Abris
Sous Roche (Gua tempat tinggal)
Abris
Sous Roche adalah goa-goa yang yang dijadikan tempat tinggal manusia purba pada
zaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan
binatang buas. Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche dilakukan oleh Dr.
Van Stein Callenfels tahun 1928-1931 di goa Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa
Timur. Alat-alat yang ditemukan pada goa tersebut antara lain alat-alat dari
batu seperti ujung panah, flakes, batu pipisan, kapak yang sudah diasah yang
berasal dari zaman Mesolithikum, serta alat-alat dari tulang dan tanduk rusa.Di
antara alat-alat kehidupan yang ditemukan ternyata yang paling banyak adalah
alat dari tulang sehingga oleh para arkeolog disebut sebagai Sampung Bone
Culture / kebudayaan tulang dari Sampung. Karena goa di Sampung tidak ditemukan
Pebble ataupun kapak pendek yang merupakan inti dari kebudayaan Mesolithikum.
Selain di Sampung, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Besuki dan
Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian terhadap goa di Besuki dan Bojonegoro ini
dilakukan oleh Van Heekeren. Di Sulawesi Selatan juga banyak ditemukan Abris
Sous Roche terutama di daerah Lomoncong yaitu goa Leang Patae yang di dalamnya
ditemukan flakes, ujung mata panah yang sisi-sisinya bergerigi dan pebble. Di
goa tersebut didiami oleh suku Toala, sehingga oleh tokoh peneliti Fritz
Sarasin dan Paul Sarasin, suku Toala yang sampai sekarang masih ada dianggap
sebagai keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman prasejarah. Untuk
itu kebudayaan Abris Sous Roche di Lomoncong disebut kebudayaan Toala.
Kebudayaan Toala tersebut merupakan kebudayaan Mesolithikum yang berlangsung
sekitar tahun 3000 sampai 1000 SM. Selain di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan,
Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Timor dan Rote. Penelitian terhadap
goa tersebut dilakukan oleh Alfred Buhler yang di dalamnya ditemukan flakes dan
ujung mata panah yang terbuat dari batu indah.
B. KEBUDAYAAN BACSON-HOABINH
B. KEBUDAYAAN BACSON-HOABINH
Kebudayaan
ini ditemukan dalam gua-gua dan dalam bukit-bukit kerang di Indo-China, Siam,
Malaka, dan Sumatera Timur. Alat-alat kebudayaannya terbuat dari batu kali,
seperti bahewa batu giling. Pada kebudayaan ini perhatian terhadap orang
meninggal dikubur di gua dan juga di bukit-bukit kerang. Beberapa mayatnya
diposisikan dengan berjongkok dan diberi cat warna merah. Pemberian cat warna
merah bertujuan agar dapat mengembalikan hayat kepada mereka yang masih hidup.
Di Indonesia, kebudayaan ini ditemukan di bukit-bukit kerang. Hal seperti ini
banyak ditemukan dari Medan sampai ke pedalaman Aceh. Bukit-bukit itu telah
bergeser sejauh 5 km dari garis pantai menunjukkan bahwa dulu pernah terjadi
pengangkatan lapisan-lapisan bumi. Alur masuknya kebudayaan ini sampai ke
Sumatera melewati Malaka. Di Indonesia ada dua kebudayaan Bacson-Hoabinh,
yakni:
1. Kebudayaan pebble dan alat-alat dari
tulang yang datang ke Indonesia melalui jalur barat.
2. Kebudayaan flakes yang datang ke
Indonesia melalui jalur timur.
Dengan adanya keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide di Indonesia sebagai pendukung kebudayaan Mesolithikum, maka para arkeolog melakukan penelitian terhadap penyebaran pebble dan kapak pendek sampai ke daerah teluk Tonkin daerah asal bangsa Papua Melanosoide. Dari hasil penyelidikan tersebut, maka ditemukan pusat pebble dan kapak pendek berasal dari pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh, di Asia Tenggara. Tetapi di daerah tersebut tidak ditemukan flakes, sedangkan di dalam Abris Sous Roche banyak ditemukan flakes bahkan di pulau Luzon (Filipina) juga ditemukan flakes. Ada kemungkinan kebudayaan flakes berasal dari daratan Asia, masuk ke Indonesia melalui Jepang, Formosa dan Filipina.
C. KEBUDAYAAN TOALA
Kebudayaan
Toala dan yang serumpun dengan itu disebut juga kebudayaan flake dan blade.
Alat-alatnya terbuat dari batu-batu yang menyerupai batu api dari eropa,
seperti chalcedon, jaspis, obsidian dan kapur. Perlakuan terhadap orang yang
meninggal dikuburkan didalam gua dan bila tulang belulangnya telah mengering
akan diberikan kepada keluarganya sebagai kenang-kenangan. Biasanya kaum
perempuan akan menjadikan tulang belulang tersebut sebagai kalung. Selain itu,
didalam gua terdapat lukisan mengenai perburuan babi dan juga rentangan lima
jari yang dilumuri cat merah yang disebut dengan “silhoutte”. Arti warna merah
tanda berkabung. Kebudayaan ini ditemukan di Jawa (Bandung, Besuki, dan Tuban),
Sumatera (danau Kerinci dan Jambi), Nusa Tenggara di pulau Flores dan Timor.